FASHION · HOBBY · LIFESTYLE · SOFIADEWI.CO · TRAVELLING

[OOTD] Stone Tone Color for Temple Tour Look : Candi Cetho

 

Chinese New Year atau Lunar New Year atau lebih beken lagi disebut Imlek oleh masyarakat, tahun 2016 ini jatuh pada tanggal 8 Februari. Hari Senin dan itu adalah long weekend!

Kebetulan, teman saya Riri mengajak saya ke Solo untuk liburan sekaligus menghadiri resepsi pernikahan Puput Putri. Saya berangkat dari Jogja dan Riri berangkat dari Jakarta, kami bertemu di The Royal Surakarta Heritage Hotel.

Singkat cerita, melanjutkan postingan kemarin tentang Javanese Princess , hari Senin Pagi saat imlek saya dan Riri dijemput oleh Desmon dan Yoga, piknik bareng ke Candi Cetho yang menghabiskan jarak tempuh 1 jam.

Beruntung… meski cuaca kurang bersahabat dengan gerimis galau yang sesekali dibecandain sama sinar matahari yang kadang nongol kadang ngumpet, akhirnya lokasi candi belum begitu ramai sis. Parkiran mobil pun masih kosong. Hore kan..

Menurut wikipedia dan yang saya baca di papan informasi candi.. Candi Ceto merupakan candi bercorak agama Hindu yang diduga kuat dibangun pada masa-masa akhir era Majapahit (abad ke-15 Masehi). Lokasi candi berada di lereng Gunung Lawu pada ketinggian 1496 m di atas permukaan laut, dan secara administratif berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar.

Kompleks candi digunakan oleh penduduk setempat dan juga peziarah yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan. Candi ini juga merupakan tempat pertapaan bagi kalangan penganut kepercayaan asli Jawa/Kejawen.

Seperti saya kutip dari wilipedia bahwa penemuan ilmiah pertama mengenai Candi Ceto dibuat oleh van de Vlies pada tahun 1842 .  A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dan penemuan objek terpendam dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala (Commissie vor Oudheiddienst) Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini diperkirakan berusia tidak jauh berbeda dari Candi Sukuh, yang cukup berdekatan lokasinya. Dan sayang sekali kemarin saya tidak sempat ke Candi Sukuh. Hiks.

Konon kabarnya, ketika pertama kali ditemukan keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu pada 14 teras/punden bertingkat, memanjang dari barat (paling rendah) ke timur, meskipun pada saat ini tinggal 13 teras, dan pemugaran dilakukan pada sembilan teras saja. Tak terbanyangkan betapa besarnya komplek ini bukan? 14 punden bertingkat dan kemarin saya hanya kebagian 9 karena hanya dipugar 9 saja.

Strukturnya yang berteras-teras (“punden berundak”) memunculkan dugaan akan sinkretisme kultur asli Nusantara dengan Hinduisme. Dugaan ini diperkuat oleh aspek ikonografi. Bentuk tubuh manusia pada relief-relief menyerupai wayang kulit, dengan wajah tampak samping tetapi tubuh cenderung tampak depan.

Kabarnya.. Penggambaran serupa, yang menunjukkan ciri periode sejarah HinduBuddha akhir, ditemukan di Candi Sukuh. Fixed! Saya harus ke sana!!

Pemugaran pada akhir 1970-an yang dilakukan sepihak oleh Sudjono Humardani, asisten pribadi Suharto (presiden kedua Indonesia) mengubah banyak struktur asli candi, meskipun konsep punden berundak tetap dipertahankan. Pemugaran ini banyak dikritik oleh para pakar arkeologi, mengingat bahwa pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa studi yang mendalam. Beberapa objek baru hasil pemugaran yang dianggap tidak original adalah gapura megah di bagian depan kompleks, bangunan-bangunan dari kayu tempat pertapaan, patung-patung yang dinisbatkan sebagai Sabdapalon, Nayagenggong, Brawijaya V, serta phallus, dan bangunan kubus pada bagian puncak punden.

Selanjutnya, Bupati Karanganyar periode 2003-2008, Rina Iriani, dengan alasan untuk menyemarakkan gairah keberagamaan di sekitar candi, menempatkan arca Dewi Saraswati, sumbangan dari Kabupaten Gianyar, pada bagian timur kompleks candi, pada punden lebih tinggi daripada bangunan kubus.

(sumber : wikipedia)



Sebelum memasuki puluhan anak tangga, terlebih dahulu kami harus membeli tiket masuk yang perbedaan harganya cukup signifikan antara turis domestik dan mancanegara yaitu Rp. 7.000 dan Rp.25.000. Sesudah masuk, kami diarahkan ke tempat persewaan kain yang wajib dipakai oleh setiap pengunjung Candi Cetho.

Saya paham ketika diberi kain tersebut. Kain dengan corak papan catur khas bali dengan logo Candi Cetho. Senada dengan title Candi tersebut sebagai Candi Hindu.

Memasuki Candi Cetho mengingatkan saya pada pura-pura besar di Bali yang menjulang tinggi seperti ini.

jadi.. kompleks Candi Ceto terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. 

Aras pertama setelah gapura masuk (yaitu teras ketiga) merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman. Pada aras ketiga terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Ceto.

 

Dan seperti yang terlihat dari gambar ini, anak tangga berikutnya ada 2 bangunan kecil kanan kiri. Dan masih ada sampai atas. ada juga pendopo kecil di atasnya lagi. Semuanya berlayer dari susunan anak tangga satu ke yang lain.


Di sini di kanan dan kiri diapit 2 tempat istirahat seperti pendopo kecil. Di bagian kiri ada jalan menuju ke lokasi yang lain. di antaranya : Sendang dan Candi Kethek (Kera).

Lebih ke atas lagi akan berjumpa dengan gerbang lagi setelah menaiki tangga. Ada bangunan rumah kecil (menyerupai tempat istirahat dan gudang. bagian gudang penyimpanan dirantai dan digembok). Begitu pula bagian puncak candi, ada gerbang besi dan digembok.

berikut penjelasan yang saya kutip dari wikipedia.

Sebelum memasuki aras kelima (teras ketujuh), pada dinding kanan gapura terdapat inskripsi (tulisan pada batu) dengan aksara Jawa Kuna berbahasa Jawa Kuna berbunyi pelling padamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397[1]. Tulisan ini ditafsirkan sebagai fungsi candi untuk menyucikan diri (ruwat) dan penyebutan tahun pembuatan gapura, yaitu 1397 Saka atau 1475 Masehi. 

Di teras ketujuh terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya Majapahit (diduga sebagai lambang Majapahit), dan simbol phallus (penis, alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang. 

Kura-kura adalah lambang penciptaan alam semesta sedangkan penis merupakan simbol penciptaan manusia. Terdapat penggambaran hewan-hewan lain, seperti mimi, katak, dan ketam. Simbol-simbol hewan yang ada, dapat dibaca sebagai suryasengkala berangka tahun 1373 Saka, atau 1451 era modern. 

Dapat ditafsirkan bahwa kompleks candi ini dibangun bertahap atau melalui beberapa kali renovasi.

Pada aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah Sudamala, seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh. Kisah ini masih populer di kalangan masyarakat Jawa sebagai dasar upacara ruwatan. Dua aras berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara keagamaan. Pada aras ketujuh dapat ditemui dua arca di sisi utara dan selatan. Di sisi utara merupakan arca Sabdapalon dan di selatan Nayagenggong, dua tokoh setengah mitos (banyak yang menganggap sebetulnya keduanya adalah tokoh yang sama) yang diyakini sebagai abdi dan penasehat spiritual Sang Prabu Brawijaya V.

Pada aras kedelapan terdapat arca phallus (disebut “kuntobimo”) di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. Pemujaan terhadap arca phallus melambangkan ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas bumi setempat. 

Aras terakhir (kesembilan) adalah aras tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu berbentuk kubus.

Di bagian teratas kompleks Candi Ceto terdapat sebuah bangunan yang pada masa lalu digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan). Di timur laut bangunan candi, dengan menuruni lereng, ditemukan sebuah kompleks bangunan candi yang kini disebut sebagai Candi Kethek (“Candi Kera”).


  
Kemarin hujan di atas. Kabut turun dengan cepatnya. Kadang-kadang sinar matahari mengintip dari balik awan mendung. Beruntung beberapa kali saya bisa mengambil foto saat langit sedang biru.


  



Outfit
apa yang saya kenakan di perjalanan kemarin? Entah kenapa saya ingin sekali memakai warna dengan Tone Grey. Dan karena tempatnya di puncak bukit, maka saya memilih pakaian yang lebih hangat.

Atasan mengenakan kaos berbahan semi wool dari brand Details dan Jaket dari brand Cardinal yang saya beli di Matahari Department Store .

Celana grey dari brand saya sendiri Sofia Dewi.Co . Harganya hanya IDR 129.000 per pcs dan tersedia lebih dari 70 pilihan warna. Stretchable dan sangat nyaman saya pakai sepanjang hari. Bahkan sering saya pakai untuk perjalanan jauh yang mengharuskan saya duduk 8-10jam, saya pakai jogging dan juga yoga. amaaaaan banget! gak bikin biduran karena kebanyakan pakai celana yang body fit. Untuk kamu yang berbadan besar atau ingin ukuran lebih loose, tersedia sampai XXXL lho!

Sepatu boots dari Sepatu Clarks menjadi andalan saya hampir setiap saat. Sampai banyak yang komen di instagram “sepatu andalan“. Tanpa perlu dijelaskan, pasti sudah bisa menebak seperti apa nyamannya sepatu ini dipakai. Meski ada heels tapi tidak perih atau pegal sama sekali. Bahkan saya tidak perlu takut terpeleset karena bisa dipakai jalan bebas di tempat licin sekalipun! Dan karena ini rainboot jadi cocok dipakai untuk cuaca kemarin.

Topi pandan dari TORISELI . so simple dengan bahan alami. Harganya cuma IDR 35.000, handmade.

Kacamata saya pakai brand Jean Paul Gaultier dari Optik Seis . Nyaman dan tampak stylish ketika memakainya.


Saya pergi ke Candi Cetho bersama Desmanita dan suaminya Yogo, juga bersama Riri. 👫👭

Terima kasih sudah mampir dan membaca cerita saya sampai selesai. Masih banyak cerita lainnya, ditunggu saja ya..

Comments are closed.